MENU BAR

Minggu, 23 Agustus 2015

GHIBAH

Waspadai Ghibah Terselubung!
Bismillaah wa shalatu wa salaamu 'ala Rasulillaah
Ikhwany wa Akhwaty fillaah waffaqaniyallaahu wa iyyakum jami’an
Ternyata banyak model ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya itu adalah dosa ghibah. Hanya saja dipoles lebih halus dan kreatif, sehingga tidak disadari sebagai ghibah.
Siang dan malam setan tak pernah bosan untuk menggoda manusia. Tak bisa menggunakan cara ini, dia mencari cara lain untuk bisa melumpuhkan benteng ketakwaan seorang hamba. Imajinasi untuk mencari ide-ide baru, guna menjerumuskan manusia ke dalam nista dan dosa, selalu bergerak dan berkembang.
Bahaya ghibah
Sebagai contoh adalah, salah satu jerat setan yang dinamakan ghibah. Ternyata banyak model ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya itu adalah dosa ghibah. Hanya saja dipoles lebih halus dan kreatif, sehingga tidak disadari sebagai ghibah.
Padahal kita tahu, betapa besar bahaya daripada dosa ghibah ini. Disamping menginjak-injak harga diri saudaranya sesama muslim tanpa hak, juga akan menjadi beban berat di hari kiamat kelak (bila orang yang dighibahi tidak memaafkan).
Di saat sedikit pahala amat dibutuhkan untuk menambah beratnya timbangan amal kebaikan, tiba-tiba datang orang yang pernah Anda ghibahi, kemudian dia menuntut untuk mengambil pahala kebaikan Anda, sebagai tebusan atas kezaliman yang pernah Anda lakukan kepadanya. Bila amalan kebaikan tidak mencukupi sebagai tebusan, maka amalan buruknya akan dibebankan kepada Anda. –Na’udzu billaah min dzaalik-.
Rasulullaah shallallaahu’alaihi wa sallaam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449, hadis Abu Hurairah.
Anda bisa bayangkan, betapa ruginya. Anda yang susah payah beramal, namun orang lain yang memetik buahnya. Orang lain yang berbuat dosa, sedang Anda yang merasakan pahitnya. Dan Allah tidak pernah berbuat zalim sedikitpun terhadap hambaNya.
Namun ini adalah disebabkan kesalahan manusia itu sendiri. Ini dalil betapa tingginya harkat martabat seorang muslim, dan betapa besar bahaya daripada dosa ghibah.
Apakah hadis ini mengisyaratkan adanya pertentangan dengan ayat,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Fathir: 18)?
Jawabannya adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari, tidak ada sedikitpun pertentangan antara hadis tersebut dengan ayat. Karena sejatinya, dia medapatkan hukuman seperti itu karena disebabkan oleh perbuatan dosanya sendiri, bukan karena dosa orang lain yang dibebankan kepadanya begitu saja. Jadi, pahala kebaikan yang dikurangi, dan keburukan orang lain yang dibebankan kepadanya, sejatinya adalah bentuk dari akibat dosa dia sendiri. Dan ini adalah bukti akan keadilan peradilan Allah ta’ala. (Lihat: Fathul Bari jilid 5, hal. 127)
Dalam hadis lain, Rasulullaah shallallaahu’alaihi wa sallaam mengingatkan,
لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Aku bertanya :”Siapakah mereka wahai Jibril?” Jibril menjawab :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia ( mengumpat ) dan mereka menginjak-injak kehormatan manusia.” (Hadis Sohih Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4879).
Beberapa model ghibah terselubung
Model-model ghibah tersebut adalah:
Pertama, seorang menggunjing saudaranya untuk memeriahkan obrolan. Dia menyadari kalau ghibah ini tidak diteruskan, orang yang dia ajak bicara akan bosan, obrolan menjadi hambar. Untuk itu, dia jadikan ghibah sebagai pemeriah obrolan. Agar lebih manis dan tahan lama obrolannya. Barangkali dia berkilah untuk memupuk keakraban dan membahagiakan saudaranya (yang sedang dia ajak ngobrol).
Kedua, mengumpat saudaranya di hadapan orang lain, untuk mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang tidak suka ghibah, padahal sejatinya dia sedang menghibahi saudaranya.
Sebagai contoh perkataan ini,” Bukan tipe saya suka ngomongin aib orang. Saya nda’ biasa ngomongin orang kecuali yang baiknya saja. Cuma, saya ingin berbicara tentang dia apa adanya… Sebenarnya dia itu orangnya baik. Cuma yaa itu.. dia itu begini dan begini (dia sebutkan kekurangannya).”
Padahal sejatinya bermaksud untuk menjatuhkan harga diri saudaranya yang ia umpat. Sungguh ironi, apakah dia kira Allah akan tertipu dengan tipu muslihat yang seperti ini, sebagaimana ia telah berhasil menipu manusia?!
Maha suci Allah dari sangkaan ini.
Ketiga, menyebutkan kekurangan saudaranya, dengan niatan untuk mengangkat martabatnya dan merendahkan kedudukan orang yang dia ghibahi.
Seperti perkataan seorang, “Dari kelas satu SMA sampai kelas tiga, rapornya selalu merah. Kalau saya alhamdulillaah, walaupun ngga pernah rangking satu, tapi masuk tiga besar terus.”
Padahal ada maksud terselubung dari ucapan itu. Yaitu untuk mengangkat martabatnya dan menghinakan kedudukan orang lain. Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa tangga pula; dia sudah melakukan ghibah, disamping itu, dia juga berbuat riya’.
Keempat, ada lagi yang mengumpat saudaranya karena dorongan hasad. Setiap kali ada orang yang menyebutkan kebaikan saudaranya, diapun berusaha untuk menjatuhkannya dengan menyebutkan kekurangan-kekurannya. Orang seperti ini telah terjurumus ke dalam dua dosa besar sekaligus; dosa ghibah dan dosa hasad.
Kelima, menyebutkan kekurangan orang lain, untuk dijadikan bahan candaan. Dia sebutkan aib-aib saudaranya, supaya orang-orang tertawa.
Dan lebih parah lagi, bila yang dijadikan bahan candaan adalah kekurangan guru atau ustadznya. -Nas alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah-.
Keenam, terkadang ghibah juga muncul dalam bentuk ucapan keheranan, yang terselebung motif menjatuhkan kedudukan orang lain. Semisal ucapan,”saya heran sama dia.. dari tadi dijelaskan oleh ustadznya tapi tidak faham-faham.” atau ucapan lainnya yang semisal.
Ketujuh, mengumpat dengan ungkapan yang seakan-akan mengesankan rasa kasihan. Orang yang mendengarnya menyangka bahwa dia sedang merasa kasihan dengan orang yang ia maksudkan. Padahal sejatinya dia sedang mengumpat saudaranya. Seperti ucapan,” Saya kasihan sama dia. Sudah miskin, tapi tidak mau ikut gotong royong. Kalau ada pengajian juga nda’ pernah datang.. dst”
Kedelapan, mengumpat saat sedang mengingkari suatu maksiat.
Seperti perkataan seorang ketika melihat anak-anak muda yang sedang main gitar di poskamling, “Kalian ini masih muda.
Gunakanlah waktu kalian untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif. Supaya masa depan kalian lebih cerah, dan kalian bisa memetik buah manisnya nanti di masa tua. Jangan seperti anaknya pak lurah itu, kerjaannya hanya main kartu, gitaran, minum-minuman….” atau ucapan yang semisal.
Sejatinya pemaparan poin-poin di atas, merujuk kepada pengertian asal daripada ghibah, yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda beliau,
Saudaraku yang kami muliakan, demikianlah beberapa praktek ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya ia adalah ghibah yang telah disinggung oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallaam dalam sabda beliau,
مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kaliana apa itu ghibah?”tanya Rasulullaah kepada para sahabatnya. Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallaa berkata : “Yaitu engkau menyebutkan (mengumpat) sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Kemudian ada yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Bagaimanakah pendapat engkau bila yang disebutkan itu memang benar ada padanya ?
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaam menjawab :
“Kalau memang ia benar begitu berarti engkau telah mengumpatnya. Tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya” ( HR Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita dari dosa ini. Dan senantiasa menambahkan taufik dan hidayah-Nya untuk kita semua.
Wa shallallaahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallaam.
Catatan:
Tulisan ini kami sadur dari penjabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah mengenai model-model ghibah, yang termaktub dalam Majmu’ Fatawa jilid 28, hal. 236-237. Dikutip oleh Syaikh Abdullah bin Sholih Al-Fauzan dalam buku beliau: al-Fawaidul Majmu’ah fi Syarhi Fushulil Adab wa Makaarimil Akhlaq Al-Masyruu’ah.
________
Penulis : Al Ustadz Ahmad Anshori
Dipublish Oleh : Abu Hasan
Diangkat dari : Artikel Muslim.Or.Id

Selasa, 18 Agustus 2015

Berbakti kepada kedua orang tua

BERBAKTI kepada keduanya merupakan perintah utama ajaran Islam. Allah Ta’ala sampai mengulang-ulang perintah ini di dalam Al-Qur’an setelah perintah mentauhidkan-Nya:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapakmu.” (An-Nisa [4]: 36).
Pada ayat yang lain juga Allah Ta’alategaskan. “Dan Robbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (Al-Isra` [17]: 23).
Dari dua ayat di atas, kita dapat pahami bahwa birrul walidain (berbakti kepada ibu dan bapak) adalah perkara utama. Berbakti kepada kedua orangtua bisa diwujudkan dengan cara senantiasa mengasihi, menyayangi, mendoakan, taat dan patuh, melakukan hal-hal yang membahagiakan hati serta menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh mereka. Inilah yang dimaksud dengan birrul walidain.
Karena berbakti kepada ibu dan bapak adalah perintah utama, maka hukumnya jelas, berbaktinya seorang anak kepada Orangtuanya adalah hak yang Allah berikan kepada ibu dan bapaknya. Jadi, manakala ada seorang anak yang tidak berbakti kepada ibu bapaknya, maka baginyaadalah dosa besar, meskipun alasan tidak berbaktinya itu karena dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala.
Suatu ketika datang seseorang lalu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya ingin ikut berjihad, tapi saya tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Thabrani).
Dalam hadits lain disebutkan, “Bersimpuhlah kau di kakinya (orangtuamu), di sana terdapat surga.”
Boleh Tidak Taat Dalam Hal Kemusyrikan
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya hanya membolehkan seorang anak tidak taat kepada ibu bapaknya dalam hal kemusyrikan dan kemaksiatan. Tetapi perintah berbakti kepada ibu bapak ini tetap berlaku sekalipun orangtua dalam kondisi musyrik. Sekalipun Allah Ta’ala memberikan ketetapan bahwa tidak wajib hukumnya taat kepada Orangtua dalam hal kemusyrikan. Tetapi, berbakti kepada keduanya, tetap sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar.
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS: Lukman [31]: 15).
Suatu riwayat menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan peristiwa yang dialami seorang sahabat bernama Sa’ad bin Abi Waqashradhiyallahu ‘anhu. Ketika Sa’ad masuk Islam, ibunya tidak setuju, bahkan mengancam untuk tidak makan tidak minum hingga Sa’ad melepaskan keimanannya. Ancaman itu ternyata benar-benar dilakukan oleh sang ibu, hingga kesehatan ibunya menurun dan berada dalam kondisi kritis.
Pada saat kritis seperti itu, Saad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhuberkata dengan lembut kepada ibunya, “Ketahuilah wahai Ibu, demi Allah, seandainyaIbu mempunyai seratus nyawa dan nyawa itu keluar satu persatu dari tubuh Ibu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agama ini, walau apa pun yang terjadi. Aku tidak akan peduli dengan segala ancaman Ibu!”
Dengan demikian dapat dipahami secara keseluruhan bahwa berbakti kepada ibu bapak adalah kewajiban utama seorang anak setelah menunaikan kewajiban utamanya kepada Allah Ta’ala. Seorang anak hanya boleh tidak taat kepada orangtua bila mereka mengajak kepada kemusyrikan dan kemaksiatan. Namun berbakti dan berbuat ma’ruf kepada keduanya tetaplah satu kewajiban.
Keutamaan Berbakti Kepada Orangtua
Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhupernahbertanya kepada Rasulullah tentang perbuatan apa yang paling disenangi oleh Allah.
Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua ibu bapak.”
Lalu dia bertanya kembali, “Kemudian apalagi ya Rasulullah.”
Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah.”
Artinya, siapa berbakti kepada Orangtuanya dengan sebaik-baiknya, maka jelas surga ada di hadapannya. Betapa tidak?
Lihatlah, hadits ini menunjukkan berbakti kepada orangtua lebih utama nilainya daripada jihad fii sabilillah (berjihad/berperang di jalan Allah). Sementara kita tahu, jihad fii sabilillahadalah jalan pintas menuju surga-Nya. Maka tentu saja berbakti kepada orangtua akan mendapat balasan surga yang lebih baik.
Perlu diketahui pula, kemuliaan untuk orang yang berbakti kepada orangtuanya tidak hanya saja diberikan kelak di akhirat, namun juga sudah ditampakkan sejak di dunia. Hal ini bisa dilihat dari kisah Uwais Al-Qarni, seorang Muslim dari Yaman yang sangat taat dan berbakti kepada ibunya.
Uwais belum pernah berjumpa dengan Rasulullah, namun karena begitu berbaktinya dia kepada orangtuanya, sehingga Allah mencintai dia, dan kecintaan kemuliaan Uwais sampai ke telinga Rasulullah. Tapi suatu saat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertutur bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang ke negeri ini Uwais Al-Qarni, dari desa atau kabilah Murad dan Qaran. Semula ia terkena penyakit belang, lalu sembuh. Ia sangat mencintai dan berbakti kepada ibunya. Kalau bersumpah dan berdoa kepada Allah pasti dikabulkan. Jika kalian mau, mohonlah kepadanya, agar ia memintakan ampun buat kalian.” (HR. Muslim).
Bayangkan, sahabat sekelas Umar diberikan anjuran untuk memuliakan seorang Uwais Al-Qarni. Seorang Muslim yang belum pernah beliau temui dan belum pernah sekalipun turun ke medan jihad. Tetapi, inilah satu bukti bahwa siapa yang benar-benar berbakti kepada ibu bapaknya, kemuliaan adalah pakaian yang layak disandangnya.
Secara logika, boleh jadi kita tidak disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Uwais telah disebutkan dihadapan para sahabat utama sebab Rasulullah telah meninggalkan kehidupan fana ini. Tetapi, bukan tidak mungkin Allah Ta’ala akan mencatat siapa saja yang berbakti kepada Orangtuanya sebagai seorang Muslim yang dibanggakan di hadapan para malaikat-Nya, Insya Allah.
Dengan demikian sungguh indah balasan atau keutamaan dari berbakti kepada kedua Orangtua. Sayangnya, banyak manusia yang melalaikannya. Padahal, ridha Allah Ta’ala ada pada ridha ibu dan bapak. “Keridhaan Allah seiring dengan/dalam keridhaan ibu bapak, dan kemurkaan-Nya seiring dengan/dalam kemarahan ibu bapak.” (HR. Turmudzi).
Jadi, berbaktilah kepada Orangtua dengan sebaik-baiknya. Niscaya ridha Allah Ta’ala adalah balasan utamanya. Paling tidak, jangan pernah sampai lupa untuk mendoakan keduanya kala kita berdoa(QS. 17: 24).Wallahua’lam.*/ Imam Nawawi, diambil dari al-Qalam

Sabtu, 15 Agustus 2015

Do’a Kesatuan Umat

Do’a Kesatuan Umat

Ya Rabb kami, tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus, jalan yang telah engkau syari’atkan, jalan yang telah dicontohkan oleh Nabi dan Rasul utusanMu… 
(mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (Qs. Ali Imran:8)

Jadikanlah Al-Qur’an cahaya dalam hati-hati kami, sehingga tidak ada perselisihan dalam segala urusan kami…

dan kamu tidak menyalahkan Kami, melainkan karena Kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan Kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami”. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, Limpahkanlah kesabaran kepada Kami dan wafatkanlah Kami dalam Keadaan berserah diri (kepada-Mu)”. (Qs. Al A’raf:126)

Ya Rabb kami, ampunilah kami jikalau ayat-ayat yang telah engkau turunkan belum mampu menggetarkan hati kami…
   
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Qs. Al Anfal:2)

tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan Kami, ampunilah dosa-dosa Kami dan tindakan-tindakan Kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami[235] dan tetapkanlah pendirian Kami, dan tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir”. (Qs. Ali Imran:147)
Amin, yaa rabbal ‘alamiin…

Qiyadah Islamiyah

A. Pengertian Qiyadah
Qiyadah berasal dari kata qaada-yaqudu-qiyadatan artinya menuntun atau memimpin. Dalam literatur istilah kepemimpinan meliputi: imam, khalifah, amir, wali dan shultan. Apapun sebutannya maknanya adalah satu, yaitu yang memerintah dengan syari’at Allah dan sunnah Nabi-Nya.
Jabatan tersebut  adalah merupakan pengganti nabi Muhammad SAW dengan tugas melaksanakan dan menegakkan agama serta menjalankan kepemimpinan Islam.
B. Kedudukan Qiyadah Islamiyah
Kedudukan qiyadah Islamiyah merupakan hal yang sangat vital bagi eksistensi Islam. Sebagaimana dinyatakan oleh Umar bin Khatab  dalam atsarnya:
لاَاِسْلاَمَ اِلاَّ بِالْجَمَاعَةِ وَلاَ جَمَاعَةَ اِلاَّ بِاْلإِمَارَةِ وَلاَ إِمَارَةَ اِلاَّ بِالطَاعَةِ
Tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah, dan tidak ada jamaah kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali adanya ketaatan.
HUBUNGAN QIYADAH ISLAMIYAH DENGAN DIMENSI THEOLOGIS

A. Kepemimpinan Tertinggi Hanya Milik Allah
Kepemimpinan tertinggi dan absolut sifatnya hanya milik Allah. Hal ini karena Allah SWT adalah pencipta alam semesta dan manusia. Sebagai pencipta, kedudukan Allah adalah pemilik sekaligus Penguasa. Ditangan-Nyalah secara mutlak segala bentuk kekuasaan kepada makhluknya. Dialah satu-satunya yang memiliki kekuasaan mutlak baik kekuasaan untuk memerintah membuat dan menetapkan hukum.
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, (67:1)
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (12:40)
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (7:57) 
Allah pemilik otoritas tertinggi dalam kekuasaan dan hukum atas bumi ini, telah mengamanahkan kepada manusia untuk bertindak sebagai khalifahnya. Oleh karena itu kedudukan kekuasaan manusia di muka bumi adalah berupa amanah dari Allah SWT, sebagai pemegang amanah maka secara mutlak manusia terikat dengan aturan dan bertanggung jawab kepada Allah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.  (2:30)
B. Para Manusia terpilih
Allah memberikan amanah kepada orang-orang terpilih untuk bertindak sebagai  manadataris-Nya. Para Nabi dan Rasul yang mendapat kepercayaan untuk mengemban amanah itu adalah orang-orang yang telah teruji dengan berbagai cobaan, sehingga mereka mendapat kedudukan sebagai al-Mustafa.
Firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menagnugerahkan ilmu dan tubuh yang perkasa. (2:24t)

C. Estafeta misi Risalah
Muhammad Rasulullah saw adalah khataman Nabi. Setelah nabi Muhammad saw tidak ada lagi pengangkatan Nabi dan Rasul. Namun begitu peran serta fungsi kepemimpinan risalahnya tidak boleh berhenti tetapi mesti berlanjut dan berkesinambungan terus hingga akhir zaman. Di sinilah esensi dan hakikat qiyadah Islamiyah kedudukannya dalam menjaga dien dan politik negara, menempati posisi “maqom nubuwah”.
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (3:144)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dari  Abu Hurairah r.a: Nabi s.a.w bersabda: Adalah Banu Israil selalu dikendalikan pemerintahan mereka oleh Nabi-nabi. Setiap meninggal seorang Nabi maka Nabi itu digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada lagi Nabi sesudahku, yang ada hany para khalifah yang banyak jumlahnya. Para sabahat bertanya: Apakah yang engkau suruh kami kerjakan?. Nabi menjawab: Sempurnakanlah baiat yang telah engkau berikan kepada yang pertama. Kemudian yang datang sesudahnya. Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada mereka tentang apa yang Allah suruh kepada merka.  (HR. Bukhari Muslim)
PERAN SERTA FUNGSI QIYADAH ISLAMIYAH DITINJAU DARI ASPEK SOSIO POLITIK DAN HUKUM

A. Penyelamat Manusia Dari  Lembah Kesesatan
Status manusia di muka bumi dinyatakan: “Fi dlolalim mubin”, ketika qiyadah Islamiyah belum terwujud di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, terwujudnya qiyadah Islamiyah merupakan suatu ni’mat dan fadhal dari sang Maha Pencipta.
 Firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
Dialah yang telah membangkitkan seorang  rasul dari diri mereka sendiri,  yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum itu, mereka sungguh-sungguh di dalam kesesatan yang nyata. (62:2).
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
Sesungguhnya Allah telah memberikan karunianya kapada orang-orang yang beriman tatkala dibangkitkan atas mereka seorang rasul dari diri mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum itu, mereka sungguh-sungguh di dalam kesesatan yang nyata. (3:164)
B. Sebagai Syahid Terhadap Perihidup Manusia
Qiyadah Islamiyah adalah sebagai “Syahid”, penyaksi terhadap manusia akan keimanan dan kekufurannya. Dan juga di hari berbangkit diberi peran sebagai “Syahid”.
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا.لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً
Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan agama-Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepadanya di waktu pagi dan petang. (48:8-9).
C. Sebagai Lembaga Tazkiyah
Qiyadah Islamiyah adalah sebagai lembaga tazkiyah dan tarbiyatul ummat, sehingga dengan demikian ummat dapat melakukan tazkiyatun nafs ketika melakukan pelanggaran sesuai dengan tuntunan syari’a Allah.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan tidaklah kami memgutus seorang Rasul, kecuali untuk ditaati dengan seijin Allah. Dan sekiranya mereka menganiaya diri (berbuat kesalahan) datang kepada kamu kemudian memohon ampun kepada Allah dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka tentulah kamu dapati bahwasanya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penerima taubat. (4:64).
D. Sebagai Pelaksana Hukum
Qiyadah Islamiyah adalah satu-satunya lembaga kepemimpinan yang memiliki legitimasi dan otoritas untuk melaksanakan hukum serta bertanggung jawab terhadap tegaknya syari’at Allah. Semua manusia harus tunduk kepadanya, jika tidak maka statusnya bukanlah sebagai orang yang beriman.
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, sesungguhnya mereka itu tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim pada apa yang kamu perselisihkan, dan kemudian mereka menerima keputusanmu dengan tanpa rasa keberatan sedikitpun. (4:65)
E. Sebagai Lembaga Legitimasi amaliyah
Qiyadah Islamiyah adalah lembaga yang memberikan legitimasi sahnya setiap aktifitas manusia dalam kerangka hubungan “hablum minallah dan hablum minan-nas” untuk bernilai ibadah di sisi Allah.
Firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ
Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul kecuali untuk ditaati dengan seijin Allah. (4:64).
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barang siapa yang mentaati Rasul sesungguhnya ia mentaati Allah, dan barang siapa yang berpaling, maka Kami tidaklah mengutus kamu sebagai penjaga kepada mereka. (4:80).
F. Sebagai Lembaga Jihad
Qiyadah Islamiyah sebagai lembaga jihad fi Sabilillah untuk melumpuhkan musuh-musuh Allah dan musuh orang-orang mukmin, sehingga dienul hak (Islam) memegang supremasi kepemimpinan di muka bumi.
Firman Allah SWT:
 هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dialah yang telah mengutus rasul-Nya dengan huda dan dien yang benar (Islam) untuk dimenangkan atas dien-dien seluruhnya walau orang musrik benci. (9:33; 61:9).
[Dari berbagai sumber]