السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
Isak
tangis ribuan orang memecah keheningan tatkala Rasulullah Muhammad berdiri di
hadapan sahabatnya selepas berhaji. Di Mina, Rasul terakhir ini menyatakan
bahwa pertemuan itu bisa jadi perjumpaan terakhir. Karena tak tahu, apakah pada
tahun berikutnya ia bisa menunaikan haji dan bertemu di tempat itu lagi ataukah
tidak.
Mereka
menduga ucapan tersebut menjadi sebuah pertanda semakin dekatnya masa
perpisahan antara mereka dengan manusia mulia itu. Namun, seolah ia mengabaikan
isak tangis para sahabatnya itu. Meski mungkin ia pun masuk dalam pusaran
keharuan. Sebaliknya, ia terus berbicara menyampaikan nasihat-nasihat bijaknya.
Di
tengah padang
pasir yang gersang dan di antara tangis haru para sahabat itu, ia menitipkan
pesan agar seorang Muslim terus memelihara rasa cinta yang ada di dalam
dirinya. Tak semestinya ia menumpahkan darah saudaranya akibat rasa dengki dan
kebencian. Karena dengan perbuatannya itu, ia telah merampas hak hidup saudaranya
sendiri.
Padahal,
teks dalam kitab suci menyampaikan pesan bahwa mereka yang mengambil nyawa
saudaranya tanpa sebab yang beralasan berarti ia telah mengambil nyawa setiap
manusia yang ada di muka bumi. Sayang, nasihat itu tampaknya terabaikan oleh
umat manusia dan umat Islam sendiri. Dorongan untuk saling meniadakan terus
berkembang dalam benak mereka.
Ribuan
nyawa melayang dari raga karena beragam alasan. Mereka bisa saja dibantai
karena sebuah ambisi kekuasaan. Mereka bisa juga dimusnahkan karena sebuah
kebencian yang mendalam. Bahkan, bisa saja nyawa itu melayang hanya karena
sesuap nasi yang diperebutkan. Dan, nyatanya kini nyawa-nyawa di dalam raga
mulai tak ada harganya.
Bukankah
rasa cinta itu telah diajarkan dalam ritual haji pula yang mewujud pada saat
menjalani Sai. Lupakah kita tergeraknya Hajar melakukan Sai, menuruni dan
mendaki Bukit Shafa dan Marwa untuk menemukan sumber mata air, didasari oleh
rasa cinta yang mendalam untuk menyelematkan sebentuk kehidupan.
Dengan
sumber mata air itu, ia ingin menopang keberadaan hidup anaknya agar tak mati
kehausan. Dalam teks suci dan makna dari sebuah ritual seperti haji, Islam
memberikan penghargaan atas hidup. Maka haji mestinya menjadi sebuah titik
balik bagi kita untuk memupus rasa benci yang mungkin telah menumpuk di dalam
hati kita.
Pada
peristiwa yang lebih dikenal sebagai haji Wada' atau haji perpisahan, Nabi Muhammad
saw, juga menitipkan pesan agar umatnya menghormati dan bersikap santun kepada
para wanita. Memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan hingga mereka menjadi
manusia yang terhormat.
Sebab,
mereka bukankah manusia kelas dua yang pantas disia-siakan atau dicampakkan
seperti yang terjadi pada masa kebodohan. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw pantas
menjadi contoh yang ideal. Ia selalu menghormati istrinya meski ia pun pernah
berbeda pendapat dengannya.
Suatu
saat, Nabi Muhammad saw berbeda pendapat dengan istrinya, Aisyah, namun ia tak
pernah memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri. Ia memiliki sikap toleran
yang begitu tinggi terhadap istrinya. Hingga kemudian ia meminta Abu Bakar,
sahabat yang sekaligus mertuanya, untuk mencoba menengahi perbedaan pendapat
antara dia dengan Aisyah. Selayaknya, kita juga berlaku santun terhadap siapa
saja, termasuk wanita
Wallohualam bisowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar