السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
Para pemimpin
yang mengelola amanah negara dan umat laksana pengelola harta anak-anak yatim.
Begitulah Khalifah Umar bin Khattab membuat tamsil. Ketika dilantik, beliau
menyatakan, ''Sesungguhnya aku dan harta kalian (kaum Muslimin) seperti
pemelihara harta anak yatim. Aku akan memakainya sekadar kebutuhanku.''
Terhadap pengelola harta anak yatim, Allah berfirman, ''Dan
janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari kepatutan.'' (QS An-Nisaa 4:
6). Jadi, boleh diambil sebatas kebutuhan, namun wajib dijaga jangan
sampai hilang dan lenyap, baik karena kelalaian maupun korupsi; lalu
dikembangkan dan dibagikan ketika mereka butuh dan dirasa mampu memakainya.
Bila tidak dirawat, apalagi dihambur-hamburkan, maka firman-Nya, ''Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, maka sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala.'' (QS 4: 10).
Akibat status harta umat dan negara laksana harta anak yatim yang
dititipkan, maka para pemimpin Islam berhati-hati menetapkan penghasilan,
tunjangan, dan fasilitas mereka. Khalifah Umar misalnya, menolak usulan para
sahabat Nabi agar gajinya selaku kepala pemerintahan dinaikkan setelah mereka
tahu Umar terpaksa berutang.
Bahkan, meski usulan disampaikan putrinya, Hafshah, yang melobi
atas permintaan para sahabat Nabi, Umar tetap menolak seraya mengingatkan
Hafshah akan kesederhanaan Nabi yang ingin diteladaninya. Padahal, gaji Umar
hanya 16 ribu dirham setahun (sekitar Rp 40 juta).
Barulah setelah kas negara bertambah pesat usai penaklukan wilayah
Persia
dan sebagian Romawi, serta telah meratanya kesejahteraan umat, Umar bersedia
gaji dan tunjangannya dinaikkan. Dalam contoh lain, Umar menolak mencicipi kue
lezat dari Uzbekistan
usai tahu panganan itu bukan makanan rakyat biasa di sana.
Prinsip ini sesuai dengan sabda Nabi kepada Umar saat dia menolak
diberikan bagian selaku amil zakat. Rasul bersabda, ''Ambillah dan pakailah,
atau sedekahkanlah. Sebab, jika engkau tidak meminta-minta (gaji dan
fasilitas), maka terimalah. Namun, jangan engkau mengikuti nafsumu jika tidak
bisa disediakan (negara dan umat).'' (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi, meski kompensasi bagi pengelola aset umat dan negara adalah
wajar, besar gaji dan mewah tidaknya fasilitas mereka disesuaikan dengan
keadaan umat, sang pemilik harta yang dititipkan kepada mereka. Bila mereka
telah sejahtera, yang berarti sang pemimpin telah berprestasi, maka wajar
prestasi dihargai.
Ironisnya, kala problem
kemiskinan, kekurangan gizi, kebodohan, dan berbagai bencana alam belum
terselesaikan, juga belum ada prestasi memberantas berbagai kemunkaran semacam
korupsi dan rongrongan asing, banyak orang berani menghambur-hamburkan harta
umat; memperbesar jatahnya dan mempermewah hidupnya. Padahal, semua itu
hanyalah mendekatkan dirinya pada azab-Nya
Wallohua'lam bisowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar